Selasa, 28 Januari 2014

Lembar Perjalanan Keguruan



Pada tahun 1942, Al Mukarram YM Ayahanda Guru menyelesaikan pendidikan tinggi di negeri Belanda. Beliau kembali ke tanah air dan mempelajari ilmu tasawwuf dari para guru besar ahli sufi. Langkah pengabdian agung Beliau dalam Thareqat Naqshabandiyah Al Khalidiyah pun mulai tercatat dengan tinta emas.
Beliau mengenal Tarekat pada tahun 1943 melalui seorang khalifah dari Syaikh Syahbuddin Aek Libung Tapanuli Selatan. Pada tahun 1947, Beliau hadir di rumah murid Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Buayan di Bukittinggi Sumatera Barat. Saat itu akan dimulai pelaksanaan tawajuh yang dipimpin oleh Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Buayan. Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Buayan sangat disiplin dalam melaksanakan ketentuan tawajuh, dan karenanya siapa saja yang belum masuk thareqat disuruh keluar.
Tetapi pada waktu tawajuh hendak dilaksanakan, Sayyidi Syaikh M. Hasyim Buayan melihat YM Ayahanda Guru, dan membolehkan beliau ikut tawajuh dengan diajarkan kaifiat singkat oleh khalifahnya pada saat itu juga.
Tahun 1949, saat agresi Belanda, Beliau mengungsi ke pedalaman Tanjung Alam Batu Sangkar Sumatera Barat dan bertemu dengan sekelompok orang yang akan melaksanakan i’tikaf atau suluk, yang dipimpin oleh seorang khalifah dari Syaikh Abdul Majid Tanjung Alam. Singkat cerita,khalifah tersebut meminta Beliau memimpin i’tikaf. Pada mulanya Beliau menolak, tetapi setelah berkonsultasi selanjutnya Beliau bersedia, dengan syarat ada izin dari Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Buayan. Lalu khalifah tersebut minta izin dulu kepada Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Buayan. Setelah didapatkan izin barulah Beliau memimpin i’tikaf tersebut.

Ketika itu, Beliau belum pernah suluk, namun sudah mensulukkan orang. Setelah peristiwa itu, Beliau menemui Sayyidi Syaikh Abdul Majid Tanjung Alam untuk minta suluk.

Kemudian Beliau dan Syaikh Abdul Majid melaksanakan suluk bersama. Setelah suluk berakhir, Beliau dianugerahi satu ijazah yang isinya sangat memberikan kemuliaan pada Beliau. Sebagai seorang yang masih muda dan tidak memiliki apa-apa, Beliau merasa tidak berhak menerima kemuliaan itu.Tetapi Syaikh Abdul Majid mengatakan bahwa hal itu telah digariskan dari atas. Apalagi gurunya pernah berkata bahwa ia akan memberikan ijazah kepada seorang yang dicerdikkan Allah SWT.
Menurut menantu sekaligus wakil dan penjaga suluk yaitu khalifah H. Imam Ramali, Syaikh Abdul Majid pernah berkata bahwa Beliau adalah orang yang benar-benar mampu melaksanakan suluk dan akan dikenal sebagai pembawa Thareqat Naqsyabandiyah. Selanjutnya Beliau menjumpai Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Buayan untuk mempertanggungjawabkan kegiatan beliau yang “di luar prosedur” tersebut dan sekaligus memohon suluk. Hal ini diperkenankan oleh Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Buayan dengan langsung membuka suluk.
YM Ayahanda Guru, sangat erat hatinya dengan guru Beliau, Sayyidi Syaikh M. Hasyim Buayan. Selama guru Beliau hidup, setiap minggu Beliau ziarah kepadanya (tahun 1950 – 1954). Setelah Beliau wafat, ziarah tetap dilanjutkan antara satu sampai dengan tiga kali dalam setahun. Sayyidi Syaikh M. Hasyim Buayan memberikan pujian tinggi kepada YM Ayahanda Guru, antara lain dari segi ketakwaan, kualitas pribadi dan kemampuan melaksanakan suluk sesuai dengan ketentuan akidah dan syariat Islam.
Dalam ijazah Beliau dicantumkan kata-kata "Guru dari orang-orang cerdik pandai." Beliau diberi izin untuk melaksanakan dan menyesuaikan segala ketentuan Tarekat Naqsyabandiyah dengan kondisi zaman, sebab semua hakikat ilmu telah dilimpahkan gurunya kepada Beliau. Beliau adalah orang yang benar-benar mampu melaksanakan suluk sesuai dengan pesan guru Beliau yang disampaikan kepada menantu serta penjaga suluk yaitu khalifah Anwar Rangkayo Sati.
Sebagaimana pada awalnya begitu pulalah pada akhirnya. Begitulah pada suatu saat kemudian Tarekat Naqsyabandiyah dipaparkan secara keseluruhan oleh Syaikh Syahbuddin kepada Beliau. Syaikh Syahbuddin pernah berkata kepada anak kandungnya yang menjaga suluk yaitu Syaikh Husin, bahwa yang benar-benar dapat menegakkan suluk adalah YM Ayahanda Guru.

Pada tahun 1971, Beliau bertemu dengan Syaikh Mohammad Said Bonjol. Setelah Tawajuh, Syaikh Mohammad Said memutuskan untuk memberikan sebuah Mahkota yang dititipkan gurunya, dengan pesan agar diberikan kepada seseorang yang pantas. Puluhan tahun berlalu, barulah “orang yang pantas” tersebut ditemukan oleh Syaikh Mohammad Said, yaitu YM Ayahanda Guru.

Pantaslah kalau guru-guru Beliau para wali Allah SWT menyampaikan pujian dan mengabarkan di masa lalu bahwa Beliau mendapatkan pujian tinggi dalam pelaksanaan Akidah Islam, guru dari cerdik pandai dan ahli mengobat, mampu melaksanakan suluk secara paralel di seantero negeri dan mancanegara. Perjalanan keguruan Beliau adalah catatan tinta emas dalam lembaran sejarah